Iramanya Melayu, duhai sedap sekali
Sulingnya suling bambu gendangnya kulit lembu
dangdut suara gendang
seru bukan kepalang
Terajana
Terajana Ini
lagunya, lagu India
Melalui "Terajana", kita bisa melihat anatomi sekaligus biografi dangdut. Secara anatomi, dua alat musik yang penting adalah seruling dan kendang. Sedangkan secara biografis, musik ini punya akar, atau setidaknya terpengaruh, kebudayaan Melayu dan India. Soal rujukan biografis, Rhoma menyinggungnya lebih tajam dalam lagu "Viva Dangdut".
"Ini musik Melayu. Berasal dari Deli. Lalu kena pengaruh dari Barat dan Hindi," begitu Rhoma bernyanyi.
Dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012), Andrew Weintraub menulis bahwa Rhoma melakukan penjejakan sejarah pada kisah kebudayaan Melayu Deli—dulu masuk dalam wilayah Sumatera Timur, kini bagian dari Sumatera Utara—di mana Orkes Melayu muncul sejak zaman sebelum penjajahan hingga periode 1950-an dan 1970-an.
Irama Melayu memang jadi inti dari musik dangdut, betapapun kemudian Rhoma meraciknya dengan unsur musik rock. Bagian dari mengoplos musik rock ini tampak jelas pada awal karier Rhoma: menenteng gitar Fender putih yang mengesankannya terpengaruh Ritchie Blackmore dari Deep Purple hingga peralihan ke Steinberger hitam andalannya.
Akar sejarah dangdut bisa ditarik jauh lebih ke belakang. Mengutip The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 1891-1903 (2006), Weintraub mengatakan bahwa leluhur Melayu musik dangdut adalah orkes keliling dari Malaya (Malaysia) yang berlabuh ke Pulau Jawa pada 1890-an. Orkes ini memainkan banyak jenis musik: Melayu, Tionghoa, India, Timur Tengah, juga Eropa.
Selepas di Jawa, para orkes keliling ini lantas pergi ke Sumatera. Di sana, rombongan teater dan orkes musik ini mencari peluang bisnis. Sumatera pada era 1930-an adalah pasar musik yang bergairah. Weintraub menyebut Sumatera bersama Malaya dan Permukiman Selat adalah pasar tunggal untuk rilisan musik beberapa label rekaman Melayu kala itu. Ditambah alasan geografis, penyanyi di Sumatera lebih sering tampil di Malaya dan Singapura ketimbang di Jakarta. Hal ini membuat akulturasi budaya di kawasan-kawasan itu terjadi secara alamiah.
Pada 1930-an, radio berpengaruh besar terhadap popularitas tiga jenis musik yang jadi pondasi awal dangdut: orkes harmonium, orkes gambus, dan orkes Melayu.
Orkes harmonium (OH) disebut-sebut oleh musisi Husein Bawafie sebagai "asal-usul dangdut". Harmonium adalah nama alat musik sejenis organ asal Eropa yang masuk melalui India dan menyebar ke banyak negara. Peralatan musik OH biasanya terdiri dari harmonium, biola, terompet, gendang, rebana, dan sesekali tamborin. Weintraub mengatakan bahwa OH biasanya memainkan lagu-lagu dengan irama Hindustan, dan lagu-lagu campuran musik Melayu, Arab, India, dan Eropa. Namun, pada era 1940-an, nama OH mulai meredup. Beberapa OH memilih berganti istilah orkes Melayu.
Pondasi dangdut kedua datang dari orkes gambus. Musik yang dimainkannya adalah musik ala Timur Tengah, mengandalkan alat musik gambus serta kendang-kendang bermembran ganda nan kecil, biasa disebut marwas atau marawis. Alat musik gambus dan marwas diperkirakan berasal dari Hadramaut (Yaman). Sebagai penyemarak, ditambahkan pula harmonium, biola, suling, rebana, tamborin, dan bas betot.
Salah satu musisi paling masyhur dari orkes gambus adalah Syech Albar, ayahanda Ahmad Albar. Menurut sejarawan Fandy Hutari, Albar sempat belajar alat musik gambus kepada Sayid Thah bin Alwi Albar di Yaman pada 1926. Albar pertama kali mendapat kontrak rekaman dengan label His Master’s Voice pada 1931. Weintraub mencatat, musik yang dihasilkan Albar berasal dari banyak pengaruh, dan tampak pada karyanya. Mulai Melayu, Arab, hingga Rumba ala Kuba.
Orkes Melayu (OM) adalah kepingan pelengkap dua pondasi awal. Dari pelbagai catatan radio, OM mulai muncul di Indonesia pada 1930-an. Salah satu yang punya nama mentereng adalah Orkest Melajoe Sinar Medan yang dipimpin oleh Abdul Halim. Meski namanya Sinar Medan, orkes ini berasal dari Jakarta.
Dalam kajian Weintraub, orkes ini memakai instrumen Eropa tetapi tetap mempertahankan unsur musikal Melayu. Antara lain pantun dan frasa semisal 'aduhai sayang'. Weintraub mencatat, lagu Melayu seperti "Sayang Manis" dan "Sinar Malacca" diiringi oleh vokalis dengan suara melengking, dan senggakan untuk menyemangati penyanyi.
Setelah Indonesia merdeka, OM mulai memasukkan sentuhan baru dalam musik mereka: membuat melodi baru berdasarkan melodi film India. Ini disebut-sebut sebagai pintu kelahiran dangdut. Lima tahun setelah Indonesia merdeka, pertukaran budaya semakin kencang. Arab, Melayu, India, Amerika Latin, juga Eropa—yang memperkaya musikalitas orkes Melayu.
Pengaruh Tilawah terhadap Cengkok
Komunitas Arab berperan penting dalam perkembangan dangdut di Indonesia. Selain Syech Albar, ada banyak nama warga keturunan Arab yang menjadi tokoh penting dalam jagat musik dangdut. Nama-nama itu, antara lain, Husein Bawafie yang memimpin orkes Chandralela, Said Effendi (Irama Agung), Umar Alatas (Chandraleka), juga Husein Aidid (Kenangan).Komunitas warga keturunan Arab ini membentuk jaringan yang saling bertukar ilmu. Mereka bermain musik bersama, diskusi, dan ini yang kemudian tanpa disadari punya pengaruh penting dalam dangdut: mengaji. Rupa-rupanya, pelajaran seni baca Alquran (tilawah) adalah faktor utama yang membuat para penyanyi orkes Melayu jadi penyanyi dangdut yang lihai, dengan cengkok aduhai. Weintraub menyebutkan nama-nama seperti Ellya Khadam, Munif Bahasuan, A. Rafiq, Mansyur S., Elvy Sukaesih, dan Rita Sugiarto.
"Yang mereka pinjam dari seni baca Alquran bukan cengkok vokal spesifik, melainkan teknik-teknik vokal penetapan frasa lagu, diksi, pernafasan, dan pelafalan," tulis Weintraub.
Penggunaan cengkok yang berpijak pada seni baca Alquran ini yang seiring waktu menghasilkan perbedaan antara musik Melayu dan genre musik populer lain saat itu. Maka, tak sukar bagi mereka untuk menyanyikan lagu Arab sekalipun.
Menjadi Musik Rakyat
Era 1970-an, musik-musik Melayu dan India sudah bertransformasi menjadi dangdut. Musik ini kemudian dianggap sebagai musik rakyat, terutama karena basis mayoritas penggemarnya adalah rakyat kelas bawah. Weintraub menyitir beberapa penyebutan media Indonesia terhadap para penggemar dangdut: rakyat kecil, rakyat jelata, rakyat jembel, golongan bawah, kaum marginal, pinggiran, dan kelas menengah bawah.Dangdut jadi populer di kalangan rakyat karena liriknya dekat dengan keseharian sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain itu, Weintraub menyatakan, musik pop dan rock Indonesia tidak punya akar historis atau ciri musik, "yang mengaitkannya dengan derita rakyat." Dangdut tidak demikian. Ia punya akar kuat, dan banyak menceritakan kehidupan rakyat biasa. Maka, ia berkembang di lingkungan urban yang "terpinggirkan secara sosial dan ekonomi."
Hal ini yang melahirkan pertentangan klasik, antara kaum borjuis dan kaum proletar. Dangdut dianggap mewakili selera rakyat kelas bawah, dianggap tidak keren, sekaligus kampungan. Pertikaian ini dilambangkan oleh kisruh antara musisi rock Benny Subardja dari Giant Step, yang menyebut dangdut sebagai "musik tai anjing".
Istilah dangdut itu sendiri baru lahir pada awal 1970-an. Nama dangdut merupakan onomatope (kata yang berasal dari bunyi) kendang: dang-dut. Beberapa pemusik tidak menyukai istilah yang dianggap melecehkan ini. Dalam Majalah Tempo edisi 5 Mei 1979, Said Effendi, pemimpin OM Sinar Agung, mengatakan istilah dangdut "muncul karena perasaan sinis dari mereka yang anti musik Melayu."
Weintraub menulis bahwa istilah dangdut diciptakan oleh majalah musik Aktuil. Namun, dalam wawancaranya dengan Meggy Z, Mansyur S. dan Dadang S., istilah dangdut jadi populer berkat jasa Bung Mangkudilaga, penyiar radio yang kerap mempromosikan dangdut di Radio Agustina, Tanjung Priok, Jakarta, pada 1973-1974.
Mangkudilaga mengasuh acara bernama "Sop Dangdut". Nama ini menarik sebab mencerminkan jiwa dangdut itu sendiri: percampuran. Sop dibuat dari pelbagai jenis sayur, sama halnya dangdut yang terbentuk dari pelbagai pengaruh musikal. Dengan jumlah penggemar yang teus membesar, banyak radio yang kemudian tertarik menyiarkan dangdut.
Faktor lain yang membuat dangdut makin populer adalah larisnya rekaman-rekaman Ellya Khadam. Salah satu indikator mulai populernya dangdut, terang Weintraub, adalah banyak musisi pop Indonesia (yang dianggap mewakili kaum sugih dan gedongan) mau membuat lagu berirama Melayu. Pada 1975, menurut Weintraub, dangdut sudah menguasai 75 persen pasar industri rekaman.
Dunia dangdut semakin membesar saat muncul sang ksatria bergitar dari Tasikmalaya, Jawa Barat, bernama panggung Rhoma Irama. Sebagai musisi dangdut, Rhoma istimewa karena punya akar musikalitas yang berbeda ketimbang penyanyi dangdut lain. Meski Rhoma kecil suka berdendang musik India, ia tumbuh dengan mendengarkan musik rock.
Saat ia muncul dengan pengaruh musik rock yang kental, banyak orang menudingnya tidak orisinal, termasuk wartawan Remy Sylado dari Aktuil. Moh. Shofan dalam Rhoma Irama: Politik Dakwah Dalam Nada (2014), menyebut bahwa Remy mengatakan Rhoma tak layak menyandang gelar raja dangdut karena ia tak orisinal.
Tapi ketidakorisinalitas Rhoma yang kemudian membawanya terus melejit. Ia berhasil membawa nilai-nilai dangdut, yakni percampuran banyak pengaruh musik dan hasil dari akulturasi budaya. Rhoma menyuntikkan pengaruh rock dan pop dalam dangdut.
"Rhoma melakukan banyak persilangan. Sebuah crossover yang memperkaya anasir musik dangdut itu sendiri. Rhoma melakukan perubahan besar-besaran pada semua aspek dengan melakukan elektronisasi. Unsur gitar dan drum yang menjadi ciri musik rock, begitu kental mewarnai musik dangdut ini," tulis Shofan.
Rhoma kemudian jadi nama yang dominan dalam dunia dangdut, dan menyandang julukan si Raja Dangdut. Sayangnya, terlalu lama menjadi raja membuat Rhoma lupa soal nilai akulturasi yang sempat ia bawa dulu. Ketika Inul Daratista muncul membawa musik koplo sebagai gagrak baru dangdut, Rhoma meradang. Dangdut koplo terpengaruh oleh budaya Jaipong dan Jaranan, dan cepat populer.
Segala pakem dan patron yang dibangun si Raja Dangdut selama puluhan tahun perlahan terkikis karena gagrak dangdut yang datang dari pinggiran Jawa Timur, tempat asing dan teramat jauh dari Deli Serdang. Padahal koplo adalah hasil dari akulturasi budaya, meleburkan pengaruh satu dengan yang lain; sama seperti proses lahirnya dangdut.
Fachry Ali dalam "Musik Melayu atau Dangdut Sebagai Counter-Culture" menulis bahwa Rhoma adalah seorang "ideolog" ketimbang seorang penyanyi. Dan sang raja sadar betul bahwa musik dangdut adalah "tahapan terdekat dari transformasi genre lagu-lagu keagamaan." Boleh dibilang, sudah sejak akhir 1970-an, Rhoma meletakkan agama berdampingan dengan politik dan dangdut. Karenanya, awal kemunculan koplo yang dianggap seronok, dianggapnya merusak trivium yang ia bangun.
Tapi bahkan seorang Raja Dangdut pun tidak bisa membendung selera yang terus berubah. Sekitar 15 tahun sejak pertikaiannya dengan Inul, dangdut koplo tidaklah mati. Malah makin berkembang, mengalami transformasi yang mencengangkan. Dari gaya bernyanyi yang berbeda jauh dibanding era Ellya Khadam atau Ikke Nurjanah, gaya busana yang jauh dari kata seronok, hingga cara pemasaran yang lebih mengandalkan internet.
Belakangan, kita pun mengenal biduanita-biduanita baru dari rahim dangdung koplo, yang popularitasnya dan jadwal kegiatannya tak kalah dari orang paling penting di negeri ini. Nama-nama ini termasuk Via Vallen dan Nella Kharisma.
Dari kawin silang kerajaan dangdut ini, dari lagu "Terajana" hingga "Anoman Obong", dari "Viva Dangdut" hingga "Jarang Goyang", kita tak pernah tahu arah (akulturasi) musik dangdut bakal ke mana. Tetapi, satu hal yang pasti, semua ini membuat kita makin luwes berjoget, dan penyanyinya bertambah sugih.
0 Response to "Percayalah Musik Dangdut Tak akan Mati"
Posting Komentar